Ada baiknya kita mengenal para Imam
Mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali yang
telah menyusun kitab Fiqih bagi kita semua.
Abu Hanifah (Imam Hanafi)
Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan
at-Taymi (bahasa Arab: النعمان بن ثابت),
lebih dikenal dengan nama Abū Ḥanīfah, (bahasa Arab: بو
حنيفة) (lahir di Kufah, Irak pada 80 H / 699 M — meninggal di
Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dari Madzhab Hanafi.
Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi’in, generasi setelah Sahabat nabi,
karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas bin Malik,
dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.[3]
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh
berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat dan
seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin
Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.
Imam
Malik
Mālik ibn Anas bin Malik bin ‘Āmr
al-Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin `Amr,
al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), (Bahasa Arab: مالك بن أنس), lahir di (Madinah pada tahun 714 (93 H),
dan meninggal pada tahun 800 (179 H)). Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits,
serta pendiri Mazhab Maliki.
Biografi
Abu
abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman
bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. Imama malik dilahirkan di Madinah
al Munawwaroh. sedangkan mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat perbedaaan
riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik
dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam malik
dilahirkan pada 95 H. sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam malik
dilahirkan 90 H. Imam yahya bin bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar malik
berkata :”aku dilahirkan pada 93 H”. dan inilah riwayat yang paling benar
(menurut al-Sam’ani dan ibn farhun)[3].
Ia menyusun kitab Al Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu
40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.
Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’
lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya
berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur
adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al
Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad
Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm
berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mnegetahui
bandingannya.
Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang
Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600
hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in,
disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai
kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad
dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn
Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan
hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’
Malik.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan
600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al
Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad,
Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah
Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang
lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti
al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan
Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb,
Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.
Malik bin Anas menyusun kompilasi
hadits dan ucapan para sahabat dalam buku yang terkenal hingga kini, Al
Muwatta.
Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul
Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin
Dinar, dan lain-lain.
Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu
Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin
Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats
Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi,
dan lain-lain.
[sunting]Pujian Ulama untuk Imam
Malik
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan
jujur, tepercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada
meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.
(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena
tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya
sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada
matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para
tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.
Imam as-Syafi’i berkata : “Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya
setelah para Tabi’in “.
Yahya bin Ma’in berkata :”Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu)
Hadits”
Ayyub bin Suwaid berkata :”Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah)
dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya”.
Ahmad bin Hanbal berkata:” Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam
malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid’ah”
Seseorang bertanya kepada as-Syafi’i :” apakah anda menemukan seseorang yang
(alim) seperti imam malik?” as-Syafi’i menjawab :”aku mendengar dari orang yang
lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak
menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang)
menemui yang seperti Malik?[3] “
Kitab Al-Muwaththa
Al-Muwaththa bererti ‘yang
disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan
hukum-hukum agama Islam. Al-Muwaththa merupakan sebuah kitab yang berisikan
hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan
ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang
merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis
adalah sahih kerana Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam
penerimaan sebuah hadits. Dia sangat berhati-hati ketika menapis, mengasingkan,
dan membahas serta menolak riwayat yang meragukan. Dari 100.000 hadits yang
dihafal beliau, hanya 10.000 saja diakui sah dan dari 10.000 hadits itu, hanya
5.000 saja yang disahkan sahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan
al-Quran. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk
mengumpul dan menapis hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya. Imam Syafi
pernah berkata, “Tiada sebuah kitab di muka bumi ini setelah al qur`an yang
lebih banyak mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa karangan Imam
Malik.”
inilah karangan para ulama muaqoddimin
[sunting]Wafatnya Sang Imam Darul Hijroh
Imam malik jatuh sakit pada hari
ahad dan menderita sakit selama 22 hari kemudian 10 hari setelah itu ia wafat.
sebagian meriwayatkan imam Malik wafat pada 14 Rabiul awwal 179 H.
sahnun meriwayatkan dari abdullah bin nafi’:” imam malik wafat pada usia 87
tahun” ibn kinanah bin abi zubair, putranya yahya dan sekretarisnya hubaib yang
memandikan jenazah imam Malik. imam Malik dimakamkan di Baqi’
Imam Syafi’i
Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs
al-Shafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: محمد بن إدريس الشافعي) yang akrab dipanggil Imam Syafi’i (Gaza,
Palestina, 150 H / 767 – Fusthat, Mesir 204H / 819M) adalah seorang mufti besar
Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i juga tergolong
kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan
dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama
besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk
berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama
namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Asy-Syafi’i
Tulisan di bawah terpaksa juga
dihapus.
Bagaimana mungkin Imam Syafi’ie yang
lahir tahun 150 H dan wafat tahun 203 H disebut menolak paham Asy’ariyyah yang
memperkenalkan ajaran Sifat 20 sementara Imam Abu Hasan Al Asy’ari sendiri baru
lahir tahun 260 H atau 57 tahun setelah Imam Syafi’ie meninggal?
Imam Syafi’ie adalah Imam Fiqih.
Beda dengan Imam Asy’ari yang merupakan Imam masalah Tauhid. Kalau seperti itu,
maka Imam Syafi’ie juga jauh dari paham Trinitas Tauhid yang dibawa oleh
Muhammad bin Abdul Wahab yang lahir tahun 1115 Hijriyah:
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah
yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan
dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.
Sumber: Majalah As-Salaam
Imam Hambali
Sebetulnya ingin mengambil referensi
dari Wikipedia di bawah:
Namun ada yang aneh yang menyatakan
Murid Imam Hambali adalah Imam Syafi’i:
Padahal berbagai literatur yang ada
menyebut bahwa guru Imam Syafi’i yang lahir tahun 150 H adalah Imam Malik
(lahir tahun 93 H). Sementara Imam Hambali yang lahir tahun 164 H (14 tahun
lebih muda dari Imam Syafi’i) adalah murid dari Imam Syafi’i.
Hubungan Guru dengan Murid tak akan
pernah berubah meski seorang guru bertanya beberapa hal kepada muridnya. Aneh
kan jika Imam Hambali berkata: “Imam Syafi’i itu dulu Guruku. Namun setelah aku
lebih pintar, sekarang Imam Syafi’i jadi muridku” Insya Allah tidak begitu.
Meski Imam Hambali adalah seorang
Imam yang cerdas, namun pernyataan bahwa murid Imam Hambali adalah Imam Syafi’i
menunjukkan adanya perubahan seenaknya oleh kaum Salafi Wahabi dalam rangka
memuja Imam Hambali yang mereka jadi panutan secara berlebihan/ghulluw.
===
Imam
Hambali
Beliau
adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris
bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin
Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu
dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu
nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika
beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat
tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya
pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah
beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru
berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan
menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian
bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut
merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah
seorang panglima.
Masa
Menuntut Ilmu
Imam
Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti
Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan
membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah
rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang
sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini,
keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan
miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu
yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau
mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad
telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang
berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis
ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli
bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya
menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat
berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus
menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu
banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia
mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama
dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang
aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi
Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai
adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian
beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari
para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau
mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam
Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun.
Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits
kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim
bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183.
Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar
tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada
tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu
ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau
temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama
tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah
ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang
menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain
yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail
bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan
lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam
Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan
saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah
menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah,
beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya
dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah
setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai
Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum
muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta)
hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang
kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni
hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada
kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya,
mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang
pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah
dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau
menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu
sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat
pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir,
tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan
muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga
menyusun kitab al-manasik ash-shagir dan al-kabir,
kitab az-Zuhud, kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa
az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah,
kitab as-Sunnah, kitab al-Wara ‘ wa al-Iman,
kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz
tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
Pujian
dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam
Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari
akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di
Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya
datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh
saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i
mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad
menolaknya.
Suatu
hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih
tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau
tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau
Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini
menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan
ilmu kepada ahlinya.
Imam
Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu
tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan
lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul
Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad
bin Hanbal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari
ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq
menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia
akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah
disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku
tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang
lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di
sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau,
tidak mau berkelakar dengannya”. Demikianlah, padahal seperti
diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal
sebagai salah seorang imam huffazh.
Keteguhan
di Masa Penuh Cobaan
Telah
menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian
dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan
rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari
tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Pada
masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang
berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang
kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai
kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki.
Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka.
Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari
Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa.
Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah
dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di
tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah,
Mu‘tashilah, dan lain-lain.
Kelompok
Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah
al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi
al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di
antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam
(berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah
al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk
meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya
Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat
tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani
menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku
pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa
Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku,
jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia
dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun’”. Tatkala
Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah
berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin
menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun,
mereka mampu melakukannya.
Untuk
memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai
mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung
orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri
telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia
telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa
di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan
ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat
kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten
memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun
bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin
Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke
Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan
sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan
dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun
218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal
al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah
mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan
menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad
dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan
konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi
beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah.
Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke
dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan
menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki
terbelenggu.
Selama
itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau,
tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan
al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh
bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua
itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang
menjulang dengan kokohnya.
Sakit
dan Wafatnya
Pada
akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam
keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah
kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai
al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya,
al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya,
al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya.
dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya.
Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang
Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad
bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau
menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun,
yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah
al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa
pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan.
Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke
seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran
dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga
memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang
sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan
adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan
melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan
namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar
bin Abdul Aziz.
Menjelang
wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya,
orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di
depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di
depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun
241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan
kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang
turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan
700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang
mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya
menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi
menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah
berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan
antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami”.
Demikianlah
gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap
agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh
keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama
lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang
Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada
dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy
berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan
agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar
as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada
awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.
Perbedaan Antar Mazhab?
Di antara tonggak penegang ajaran
Islam di muka bumi adalah muncul beberapa mazhab raksasa di tengah ratusan
mazhab kecil lainnya. Keempat mazhab itu adalah Al-Hanabilah, Al-Malikiyah,
Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah. Sebenarnya jumlah mazhab besar tidak hanya
terbatas hanya 4 saja, namun keempat mazhab itu memang diakui eksistensi dan
jati dirinya oleh umat selama 15 abad ini.
Keempatnya masih utuh tegak berdiri
dan dijalankan serta dikembangkan oleh mayoritas muslimin di muka bumi.
Masing-masing punya basis kekuatan syariah serta masih mampu melahirkan para
ulama besar di masa sekarang ini.
Berikut sekelumit sejarah keempat
mazhab ini dengan sedikit gambaran landasan manhaj mereka.
1. MazhabAl-Hanifiyah.
Didirikan oleh An-Nu’man bin Tsabit
atau lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah. Beliau berasal dari Kufah dari
keturunan bangsa Persia. Beliau hidup dalam dua masa, Daulah Umaiyah dan
Abbasiyah. Beliau termasuk pengikut tabiin , sebagian ahli sejarah menyebutkan,
ia bahkan termasuk Tabi’in.
Mazhab Al-Hanafiyah sebagaimana
dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal sebagai terdepan dalam masalah
pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqih. Oleh para pengamat
dianalisa bahwa di antaralatar belakangnya adalah:
Karena beliau sangat berhati-hati
dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihah
suatu hadits, maka beliau lebih memlih untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai
gantinya, beliau menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah
dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i.
Kurang tersedianya hadits yang sudah
diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu
banyak hadits palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu
diketahui bahwa beliau hidup di masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW,
jauh sebelum era imam Al-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli
peneliti hadits.
Di kemudian hari, metodologi yang
beliau perkenalkan memang sangat berguna buat umat Islam sedunia. Apalagi
mengingat Islam mengalami perluasan yang sangat jauh ke seluruh penjuru dunia.
Memasuki wilayah yang jauh dari pusat sumber syariah Islam. Metodologi mazhab
ini menjadi sangat menentukan dalam dunia fiqih di berbagai negeri.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik
bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi .Berkembang sejak awal di kota Madinah dalam
urusan fiqh.
Mazhab ini ditegakkan di atas
doktrin untuk merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah SAW dan
praktek penduduk Madinah. Imam Malik membangun madzhabnya dengan 20 dasar;
Al-Quran, As-Sunnah , Ijma’, Qiyas, amal ahlul madinah , perkataan sahabat,
istihsan, saddudzarai’, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar’u
man qablana .
Mazhab ini adalah kebalikan dari
mazhan Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak sekali mengandalkan nalar dan
logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang valid di Kufah, mazhab Maliki
justru ‘kebanjiran’ sumber-sumber syariah. Sebab mazhab ini tumbuh dan
berkembang di kota Nabi SAW sendiri, di mana penduduknya adalah anak keturunan
para shahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang dikerjakan
penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan dasar hukum, meski
tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih para umumnya.
3. Mazhab As-Syafi’iyah
Didirikan oleh Muhammad bin Idris
Asy Syafi’i . Beliau dilahirkan di Gaza Palestina tahun 150 H, tahun wafatnya
Abu Hanifah dan wafat di Mesir tahun 203 H.
Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis
madzhab lamanya . Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan
madzhab baru . Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ‘ilm di akhir bulan Rajab
204 H.
Salah satu karangannya adalah
“Ar-Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al-Umm” yang berisi
madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam
fiqh, hadis, dan ushul. Beliau mampu memadukan fiqh ahli ra’yi dan fiqh ahli
hadits .
Dasar madzhabnya: Al-Quran, Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat karena dianggap
sebagai ijtihad yang bisa salah. Beliau juga tidak mengambil Istihsan sebagai
dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan penduduk Madinah.
Imam Syafi’i mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah
menciptakan syariat.” Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah
nashirussunnah ,”
Kitab “Al-Hujjah” yang merupakan
madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur,
Za’farani, Al-Karabisyi dari Imam Syafi’i. Sementara kitab “Al-Umm” sebagai
madzhab yang baru yang diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al-Muzani,
Al-Buwaithi, Ar-Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang
madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia
adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”
4. Mazhab Al-Hanabilah
Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal
Asy Syaibani . Dilahirkan di Baghdad dan tumbuh besar di sana hingga meninggal
pada bulan Rabiul Awal. Beliau memiliki pengalaman perjalanan mencari ilmu di
pusat-pusat ilmu, seperti Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Yaman, Syam.
Beliau berguru kepada Imam Syafi’i
ketika datang ke Baghdad sehingga menjadi mujtahid mutlak mustaqil. Gurunya
sangat banyak hingga mencapai ratusan. Ia menguasai sebuah hadis dan menghafalnya
sehingga menjadi ahli hadis di zamannya dengan berguru kepada Hasyim bin Basyir
bin Abi Hazim Al-Bukhari .
Imam Ahmad adalah seorang pakar
hadis dan fiqh. Imam Syafi’i berkata ketika melakukan perjalanan ke Mesir,”Saya
keluar dari Baghdad dan tidaklah saya tinggalkan di sana orang yang paling
bertakwa dan paling faqih melebihi Ibnu Hanbal ,”
Dasar madzhab Ahmad adalah Al-Quran,
Sunnah, fatwah sahahabat, Ijam’, Qiyas, Istishab, Maslahah mursalah,
saddudzarai’.
Imam Ahmad tidak mengarang satu
kitab pun tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang membukukannya madzhabnya dari
perkataan, perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain. Namun beliau
mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat 40.000 lebih hadis. Beliau
memiliki kukuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad mengunakan hadis mursal dan
hadis dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan bukan hadis batil atau
munkar.
Di antara murid Imam Ahmad adalah
Salh bin Ahmad bin Hanbal anak terbesar Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal . Shalih bin Ahmad lebih menguasai fiqh dan Abdullah bin Ahmad lebih
menguasai hadis. Murid yang adalah Al-Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama
aslinya; Ahmad bin Muhammad , Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mihran , Abu Bakr
Al-Khallal , Abul Qasim yang terakhir ini memiliki banyak karangan tentang fiqh
madzhab Ahmad. Salah satu kitab fiqh madzhab Hanbali adalah “Al-Mughni”
karangan Ibnu Qudamah.
Wallahu a’lam bish-shawab, wassalamu ‘alaikm
warahmatullahi wabarakatuh,